Pati, Jawa Tengah – Kericuhan yang terjadi selama aksi demonstrasi di Kabupaten Pati, Jawa Tengah, menjadi sorotan serius Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Peristiwa yang terjadi pada 13 Agustus 2025 ini memunculkan pertanyaan mengenai tindakan aparat dalam mengamankan demonstrasi, sekaligus menjadi perhatian publik terkait perlindungan hak warga negara untuk menyampaikan pendapat secara damai.
Komnas HAM langsung menurunkan tim ke lapangan pada 14 hingga 15 Agustus untuk meninjau lokasi demonstrasi, berinteraksi dengan masyarakat, serta mengumpulkan informasi mengenai kondisi korban dan jalannya pengamanan. Langkah ini diambil agar ada evaluasi menyeluruh terkait prosedur yang diterapkan aparat dan dampak dari bentrokan yang terjadi.
Latar Belakang Demonstrasi
Aksi ini muncul sebagai reaksi warga terhadap kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) yang mencapai 250%. Warga menilai kenaikan tersebut terlalu memberatkan, sehingga mereka melakukan protes yang diinisiasi oleh Aliansi Masyarakat Pati Bersatu.
Demonstrasi tidak hanya sekadar menuntut pembatalan kenaikan pajak, tetapi juga berkembang menjadi perlawanan terhadap beberapa kebijakan lokal lain, seperti penerapan lima hari sekolah, renovasi alun-alun, pembangunan jumbotron, dan pemutusan hubungan kerja pegawai honorer di lingkungan pemerintahan kabupaten.
Seiring berjalannya waktu, aksi ini berubah menjadi salah satu demonstrasi terbesar dalam sejarah Pati, diikuti oleh ribuan warga. Dalam beberapa laporan, jumlah massa disebut mencapai 85.000 hingga 100.000 orang, sementara aparat keamanan yang dikerahkan sebanyak 2.684 personel.
Kronologi Kericuhan
Kericuhan dalam demo Pati bermula pada 5 Agustus 2025, saat Satpol PP membubarkan posko penggalangan dana warga yang mendukung aksi tersebut. Posko ini berisi bantuan berupa makanan, air mineral, dan logistik lain untuk para demonstran. Penertiban posko tersebut memicu ketegangan antara warga dan aparat, bahkan hampir menimbulkan bentrokan langsung dengan pejabat setempat, termasuk Plt Sekda Pati, Riyoso.
Puncak kericuhan terjadi pada 13 Agustus 2025, ketika ribuan warga memadati jalan-jalan di pusat kota. Beberapa titik strategis mengalami kemacetan parah, sementara aparat melakukan pengamanan dengan menerapkan barikade dan langkah penertiban. Bentrokan terjadi ketika sebagian massa mencoba melewati barikade dan aparat melakukan tindakan represif untuk membubarkan kerumunan.
Akibat kericuhan demo pati ini, dilaporkan 64 demonstran dan 7 aparat terluka. Sebanyak 11 orang ditahan untuk proses hukum lebih lanjut. Kerusuhan ini memunculkan perhatian nasional, terutama terkait apakah prosedur penanganan aparat sudah sesuai dengan prinsip hak asasi manusia.
Tindakan Komnas HAM
Merespons kericuhan demo pati, Komnas HAM menurunkan tim yang dipimpin oleh Komisioner Pramono Ubaid Tanthowi untuk melakukan investigasi langsung di lapangan. Tim melakukan beberapa langkah strategis, termasuk:
- Dialog Fungsional – Mengadakan pertemuan dengan Aliansi Masyarakat Pati Bersatu untuk menyerap keluhan dan pengalaman warga secara langsung.
- Pertemuan dengan Aparat – Menyelenggarakan dialog bersama Polresta Pati untuk memahami langkah-langkah pengamanan yang diterapkan selama demonstrasi.
- Pemantauan Lokasi – Mengunjungi titik-titik lokasi kericuhan untuk melihat kondisi fisik, termasuk kerusakan fasilitas umum dan dokumentasi luka korban.
- Pendataan Korban – Mengumpulkan data terkait korban demonstrasi, baik massa maupun aparat, untuk memastikan hak-hak mereka dipenuhi.
Komnas HAM menekankan agar aparat menegakkan prinsip hak asasi manusia dalam setiap tindakan pengamanan. Selain itu, pemerintah daerah diharapkan melakukan pemulihan bagi warga yang terdampak dan memastikan hak mereka untuk menyampaikan pendapat secara damai tidak dilanggar.
Dampak Sosial dan Politik
Kericuhan ini memiliki dampak yang luas, baik secara sosial maupun politik. Secara sosial, masyarakat menunjukkan solidaritas yang tinggi dalam bentuk penggalangan dana dan bantuan logistik untuk pendemo. Namun, konflik dengan aparat menyebabkan ketegangan yang memicu kecemasan warga di sekitar lokasi demonstrasi.
Secara politik, DPRD Pati membentuk hak angket terhadap Bupati Sudewo untuk meninjau sejumlah kebijakan yang menimbulkan kontroversi, termasuk kenaikan PBB-P2, renovasi fasilitas publik, serta pengelolaan pegawai honorer. Dewan berharap langkah ini dapat menciptakan transparansi dan akuntabilitas di pemerintahan daerah.
Tuntutan Masyarakat
Masyarakat yang mengikuti aksi menyuarakan beberapa tuntutan utama:
- Pembatalan Kenaikan PBB-P2 – Masyarakat menilai kenaikan sebesar 250% terlalu memberatkan.
- Perbaikan Kebijakan Pendidikan – Penolakan terhadap penerapan lima hari sekolah yang dianggap membebani siswa dan orang tua.
- Evaluasi Renovasi dan Proyek Pemerintah – Penolakan terhadap pembangunan jumbotron dan renovasi alun-alun yang dianggap tidak prioritas.
- Pemulangan Pegawai Honorer yang Di-PHK – Mendukung kembalinya pekerja honorer yang terdampak pemutusan hubungan kerja.
Selain itu, masyarakat juga meminta agar aparat tidak menggunakan kekerasan dalam menertibkan demonstrasi, serta menekankan pentingnya dialog yang konstruktif antara pemerintah dan warga.
Sorotan Nasional
Kericuhan di Pati menjadi perhatian media nasional karena menunjukkan ketegangan antara hak rakyat untuk menyampaikan pendapat dan kewajiban aparat dalam menjaga keamanan. Banyak pihak menyoroti pentingnya prosedur pengamanan yang sesuai dengan standar hak asasi manusia agar tidak menimbulkan korban tambahan.
Beberapa pakar hukum dan HAM menekankan bahwa penanganan demonstrasi harus lebih menekankan pendekatan persuasif dan negosiasi, bukan sekadar tindakan represif. Hal ini penting agar konflik antara masyarakat dan aparat tidak meningkat menjadi kekerasan yang lebih luas.
Reaksi Pemerintah Daerah
Pemerintah Kabupaten Pati menyatakan akan meninjau ulang kebijakan yang memicu demonstrasi. Bupati Sudewo menyampaikan komitmen untuk membuka dialog dengan masyarakat dan memastikan kebijakan publik yang diterapkan lebih pro-rakyat.
Selain itu, pemerintah daerah juga berjanji untuk meningkatkan koordinasi dengan aparat keamanan agar prosedur penanganan demonstrasi lebih manusiawi dan sesuai hukum.
Evaluasi dan Rekomendasi Komnas HAM
Dari hasil kunjungan ke lapangan, Komnas HAM menyampaikan sejumlah rekomendasi:
- Peningkatan Pelatihan Aparat – Aparat keamanan perlu mendapatkan pelatihan khusus terkait penanganan demonstrasi agar sesuai prinsip hak asasi manusia.
- Penyediaan Akses Hukum bagi Peserta Demo – Setiap warga yang ditahan wajib memperoleh pendampingan hukum serta diperlakukan secara adil.
- Penguatan Dialog – Pemerintah daerah harus membuka jalur komunikasi dengan masyarakat sebelum mengambil kebijakan yang berpotensi menimbulkan konflik.
- Pemulihan Korban – Warga dan aparat yang terluka harus mendapatkan perawatan, ganti rugi, atau kompensasi yang layak.
Kericuhan demonstrasi di Pati menjadi contoh nyata tantangan dalam menyeimbangkan hak warga untuk menyampaikan pendapat dengan kewajiban aparat dalam menjaga keamanan. Komnas HAM menekankan bahwa hak menyampaikan pendapat secara damai adalah hak konstitusional yang harus dilindungi, sementara pemerintah daerah dan aparat harus memastikan setiap tindakan pengamanan tidak melanggar hak tersebut.
Kejadian ini juga menjadi peringatan bagi pemerintah daerah dan aparat agar lebih cermat dalam mengelola kebijakan publik dan menanggapi aspirasi masyarakat. Dialog konstruktif, prosedur yang humanis, dan perlindungan hak-hak warga menjadi kunci untuk mencegah konflik serupa di masa depan.