Krisis kemanusiaan di Gaza kembali menyita perhatian global setelah badan pemantau pangan dunia (IPC) yang didukung Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyatakan wilayah tersebut secara resmi telah memasuki fase kelaparan. Ini adalah pertama kalinya dalam sejarah modern Timur Tengah, sebuah kawasan padat penduduk dinyatakan mengalami kelaparan akibat tindakan buatan manusia, bukan karena bencana alam.
Dalam beberapa bulan terakhir, laporan dari organisasi kemanusiaan, media internasional, dan aktivis lokal menegaskan bahwa pembatasan akses bantuan yang diberlakukan Israel menjadi faktor utama yang mendorong masyarakat Gaza ke ambang kematian massal akibat kelaparan. Fakta ini memicu gelombang kecaman internasional, mulai dari lembaga HAM hingga pemimpin agama dunia, yang menilai kebijakan Israel sebagai bentuk hukuman kolektif sekaligus kejahatan perang.
Untuk memahami situasi ini secara lebih mendalam, berikut adalah 5 fakta penting mengenai kelaparan di Gaza yang menjadi sorotan dunia internasional.
1. Gaza Resmi Dinyatakan Masuk Fase Kelaparan oleh IPC
Badan Integrated Food Security Phase Classification (IPC) yang berafiliasi dengan PBB pada Agustus 2025 melaporkan bahwa lebih dari 500.000 penduduk Gaza hidup dalam kondisi kelaparan ekstrem. Angka tersebut diperkirakan bisa melonjak hingga 641.000 jiwa pada akhir September jika tidak ada intervensi.
Deklarasi kelaparan ini sangat signifikan karena istilah “famine” hanya digunakan dalam kondisi paling parah. Kriteria IPC mencakup indikator seperti angka kematian akibat kelaparan, prevalensi malnutrisi akut, dan kelangkaan pangan ekstrem.
Sebelumnya, wilayah Afrika seperti Somalia dan Sudan Selatan pernah mengalami deklarasi kelaparan serupa. Tidak seperti banyak krisis kemanusiaan lain yang biasanya disebabkan kekeringan atau bencana alam, kondisi di Gaza bersumber dari blokade militer dan terbatasnya akses bantuan yang sengaja diberlakukan.
Realitas di Lapangan
- Warga Gaza mengaku terpaksa makan makanan hewan atau bahan tak layak konsumsi karena tidak ada lagi pasokan.
- Rumah sakit melaporkan peningkatan kasus anak-anak dengan tubuh kurus kering akibat malnutrisi.
- Banyak keluarga hanya mampu makan sekali dalam dua hari, itu pun dengan porsi sangat minim.
Deklarasi IPC ini langsung menjadi dasar tekanan baru terhadap Israel agar membuka akses kemanusiaan. Namun, hingga kini, implementasi di lapangan masih sangat terbatas.
2. Kelaparan Ini Disebut Sebagai “Buatan Manusia”
Laporan PBB menegaskan bahwa krisis pangan Gaza bukan akibat faktor alam, melainkan murni disebabkan oleh tindakan manusia—dalam hal ini operasi militer dan kebijakan Israel.
Sejak Oktober 2023, Israel telah melakukan blokade total terhadap Gaza dengan dalih operasi melawan Hamas. Kebijakan ini mencakup:
- Larangan masuk bahan makanan, obat-obatan, dan bahan bakar secara normal.
- Distribusi bantuan terhambat karena jumlah truk yang dapat melintas melalui perbatasan Rafah dan Kerem Shalom dibatasi secara ketat.
- Serangan udara yang menghancurkan gudang pangan, pertanian lokal, dan infrastruktur air bersih.
Akibatnya, meski bantuan internasional tersedia, akses distribusi terhambat sehingga warga Gaza tidak dapat menikmati pasokan dasar untuk bertahan hidup.
Michael Fakhri, Pelapor Khusus PBB untuk Hak atas Pangan, menyebut situasi ini sebagai “kelaparan yang disengaja”. Menurutnya, Israel tidak hanya gagal mencegah kelaparan, tetapi justru secara aktif menciptakan kondisi tersebut dengan menggunakan pangan sebagai senjata perang.
3. Bantuan Kemanusiaan Dihambat Sistematis
Dalam laporannya, Oxfam, Human Rights Watch (HRW), dan Komite Palang Merah Internasional (ICRC) menyoroti bahwa mekanisme distribusi bantuan di Gaza masih jauh dari memadai.
Fakta di lapangan:
- Sebelum perang, sekitar 500 truk bantuan per hari masuk ke Gaza. Saat ini, rata-rata hanya 30–50 truk yang diizinkan masuk.
- Banyak truk harus menunggu berhari-hari di perbatasan hingga makanan busuk.
- Israel mengganti mekanisme bantuan PBB dengan sistem perusahaan swasta, yang justru menimbulkan kekacauan distribusi dan membuka peluang korupsi.
- Serangan udara yang menghantam gudang penyimpanan bantuan membuat situasi logistik di Gaza semakin terpuruk.
Bahkan, ada laporan bahwa sejumlah warga Gaza ditembak ketika mencoba mengambil bantuan makanan dari udara. Hal ini memicu kemarahan luas karena dianggap sebagai bentuk pelanggaran paling serius terhadap hukum kemanusiaan.
Menurut penilaian badan-badan PBB, setiap hari keterlambatan pengiriman bantuan berarti memperpanjang derita ribuan anak yang sudah berada di ambang kematian karena kelaparan.
4. Gelombang Kecaman Global Meluas
Krisis kelaparan Gaza telah memicu gelombang kecaman global, tidak hanya dari dunia Arab dan negara-negara Muslim, tetapi juga dari berbagai kalangan internasional, termasuk komunitas Yahudi sendiri.
Kecaman dari PBB dan LSM Internasional
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres menyatakan bahwa penggunaan kelaparan sebagai senjata perang adalah “tidak manusiawi dan melanggar hukum internasional”. Sementara itu, Amnesty International dan Human Rights Watch menyerukan agar Israel segera dicatat sebagai pihak yang melakukan kejahatan perang.
Dukungan dari Tokoh Agama
Lebih dari 1.000 rabbi Yahudi dari Amerika Serikat, Eropa, dan Israel sendiri menandatangani petisi yang menuduh pemerintah Israel melakukan penyiksaan kolektif melalui kelaparan. Mereka mendesak penghentian blokade secepatnya demi melindungi keselamatan warga sipil.
Reaksi Negara-negara Dunia
- Turki dan Qatar dalam pernyataannya secara terbuka menuding Israel melakukan tindakan yang dikategorikan sebagai genosida.
- Uni Eropa menyerukan penghentian blokade dan mengancam akan memberikan sanksi tambahan.
- Afrika Selatan membawa kasus ini ke Mahkamah Internasional (ICJ) dengan tuduhan genosida melalui kelaparan.
Gelombang kritik tersebut menegaskan bahwa persoalan Gaza bukan lagi konflik terbatas di kawasan, melainkan telah menjelma menjadi krisis moral dunia.
5. Kelaparan Gaza Bisa Dikategorikan Kejahatan Perang
Penggunaan kelaparan sebagai senjata perang secara tegas dilarang dalam Hukum Humaniter Internasional (IHL). Pasal 54 Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa menegaskan bahwa “melarang penggunaan kelaparan terhadap penduduk sipil sebagai metode perang.”
Berdasarkan hal ini, tindakan Israel membuka kemungkinan untuk dikategorikan sebagai kejahatan perang dan bahkan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Proses Hukum Internasional
- Mahkamah Pidana Internasional (ICC) telah mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap PM Benjamin Netanyahu dan mantan Menhan Yoav Gallant atas tuduhan kejahatan perang, termasuk penggunaan kelaparan.
- Mahkamah Internasional (ICJ) tengah memproses gugatan genosida yang diajukan oleh Afrika Selatan, dengan Gaza sebagai salah satu bukti utama.
- Para pakar hukum internasional menyebut kasus Gaza sebagai preseden berbahaya, karena membiarkan penggunaan kelaparan dapat membuka jalan bagi taktik serupa di konflik lain.
Dengan demikian, krisis ini tidak hanya soal penderitaan warga Gaza, tetapi juga menyangkut masa depan sistem hukum internasional.
Dampak Jangka Panjang: Generasi yang Hilang
Di balik angka statistik, terdapat tragedi kemanusiaan yang jauh lebih dalam: hancurnya generasi Gaza. Anak-anak yang bertahan hidup dari kelaparan diprediksi akan mengalami dampak permanen, seperti keterlambatan pertumbuhan, gangguan kognitif, hingga trauma psikologis.
Selain itu, sistem kesehatan Gaza yang sudah lumpuh akibat serangan militer tidak mampu memberikan perawatan memadai bagi anak-anak yang mengalami malnutrisi parah. Banyak dari mereka bahkan meninggal sebelum mendapat kesempatan pengobatan.
Krisis pangan ini berpotensi meninggalkan jejak sejarah yang mendalam bagi warga Gaza, dengan satu generasi tumbuh dalam kelaparan, keterasingan, dan trauma berkepanjangan.
Kesimpulan
Kelaparan di Gaza bukanlah tragedi alam, melainkan sebuah krisis buatan manusia yang diciptakan melalui kebijakan blokade, penghancuran infrastruktur, dan pembatasan bantuan. Fakta-fakta yang muncul menunjukkan bahwa kondisi ini berpotensi menjadi salah satu kejahatan perang paling serius dalam sejarah modern.
Kecaman global yang semakin meluas memperlihatkan bahwa isu Gaza bukan lagi konflik lokal, melainkan cermin bagi kemanusiaan dunia. Pertanyaannya kini: apakah komunitas internasional akan membiarkan kelaparan ini terus berlanjut, atau mengambil langkah nyata untuk menghentikannya?