## Jejak Imperialisme Inggris di Kekaisaran Tiongkok: Dari Perang Candu hingga Pengembalian Hong Kong
Kekaisaran Tiongkok, dengan kekayaan sumber daya dan komoditas eksklusif seperti teh, porselen, dan sutra, telah lama memikat perhatian dunia. Khususnya, Eropa yang tengah memasuki era eksplorasi besar-besaran, haus akan wilayah baru dan sumber daya untuk memperkaya kerajaan mereka dan memperluas pengaruh politiknya. Namun, yang lebih penting lagi, negara-negara Eropa, terutama Inggris, mencari jalur perdagangan baru untuk menampung produk dan teknologi yang dihasilkan selama revolusi industri abad ke-18 dan ke-19. Minat untuk menguasai Kekaisaran Tiongkok telah muncul sejak abad ke-13, namun imperialisme Inggris secara signifikan dimulai pada abad ke-19, meninggalkan jejak mendalam dalam sejarah Tiongkok. Bagaimana sebenarnya imperialisme Inggris mengguritahi Kekaisaran Tiongkok di bawah pemerintahan Dinasti Qing?
**Dinasti Qing dan Awal Interaksi dengan Inggris: Antara Isolasi dan Permintaan Global**
Dinasti Qing, yang menggantikan Dinasti Ming pada akhir abad ke-17, didirikan oleh suku Manchu, sebuah komunitas militer semi-nomaden dari Manchuria. Setelah merebut kekuasaan pada tahun 1644, Dinasti Qing memerintah selama hampir 300 tahun, menjadi saksi bisu – dan korban – dari ambisi imperialisme Inggris. Di awal pemerintahannya, khususnya di era kekaisaran Qian Long, Dinasti Qing mengalami periode pertumbuhan ekonomi dan ekspansi teritorial yang signifikan. Namun, mereka juga menerapkan kebijakan isolasionis yang ketat, membatasi akses asing terhadap perdagangan dalam negeri. Kebijakan ini, yang dikenal sebagai Sistem Kanton, membatasi interaksi perdagangan asing hanya pada pelabuhan Kanton (Guangzhou modern) di Tiongkok selatan, bertujuan untuk memudahkan pengawasan dan pengumpulan pajak.
Ironisnya, justru kebijakan isolasi ini yang kemudian memicu konflik besar. Permintaan akan produk Tiongkok, terutama teh, sutra, dan porselen, melonjak di pasar Eropa, khususnya Inggris. Teh, telah menjadi minuman populer di kalangan semua lapisan masyarakat Inggris, menciptakan ketergantungan yang tinggi pada impor dari Tiongkok. British East India Company, berambisi mengendalikan perdagangan teh secara langsung, bukan melalui perantara seperti Dutch East India Company, berusaha mencari celah dalam sistem perdagangan yang ketat tersebut. Tarif tinggi yang diterapkan oleh Tiongkok pun memicu praktik penyelundupan yang merajalela. Pada tahun 1784, Parlemen Inggris bahkan mengesahkan Undang-Undang Pergantian untuk menghapuskan sistem tarif tinggi guna memenuhi permintaan teh yang membludak. Namun, perbedaan budaya dan penolakan Dinasti Qing untuk membuka pelabuhan-pelabuhan lainnya tetap menjadi batu sandungan utama.
**Perang Candu: Konflik yang Mengubah Lanskap Perdagangan dan Politik**
Meskipun kehadiran Inggris di Tiongkok meningkat, sebagian besar pejabat Inggris gagal memahami dan menghormati sistem upeti Tiongkok – sebuah tradisi yang menegaskan supremasi budaya Tiongkok di Asia. Keengganan mereka untuk tunduk pada protokol, seperti melakukan kowtow, dianggap sebagai penghinaan oleh pihak Tiongkok dan menghambat upaya diplomasi yang efektif. Misi Lord Macartney pada tahun 1792, yang bertujuan untuk membuka lebih banyak pelabuhan perdagangan, gagal total karena penolakan Lord Macartney untuk melakukan kowtow menimbulkan kemarahan Kaisar Qian Long.
Permintaan teh yang tinggi di Inggris menciptakan defisit perdagangan yang signifikan, karena Inggris membayar teh dengan perak. Untuk mengatasi defisit ini, pedagang Inggris mulai menawarkan opium – yang diproduksi di Bengal, India, oleh British East India Company – sebagai komoditas penyeimbang. Perdagangan opium berkembang pesat, meskipun Dinasti Qing melarang impornya pada tahun 1800. Pada tahun 1819, Inggris berhasil membalikkan defisit perdagangannya, namun dengan konsekuensi yang fatal. Ketergantungan Tiongkok pada opium merusak kesehatan masyarakat, menguras perak negara, dan memicu keresahan sosial.
Komisaris Lin Zexu, yang ditugaskan untuk menghentikan perdagangan gelap opium, melakukan tindakan tegas dengan menghancurkan lebih dari 20.000 peti opium pada tahun 1839. Tindakan ini, yang dianggap sebagai perampasan properti oleh Inggris, memicu Perang Candu Pertama (1840-1842). Kekalahan Dinasti Qing menghasilkan Perjanjian Nanking, yang memberikan Hong Kong kepada Inggris, menuntut kompensasi atas opium yang dimusnahkan, dan membuka pelabuhan-pelabuhan Tiongkok untuk perdagangan Inggris. Warga negara Inggris juga mendapatkan hak ekstrateritorialitas, menciptakan permukiman internasional di kota-kota besar Tiongkok.
Perang Candu Kedua (1856-1860), yang melibatkan Perancis, menghasilkan Perjanjian Tientsin dan memperkuat dominasi Inggris di Tiongkok. Perjanjian-perjanjian ini, yang dikenal sebagai “perjanjian tidak setara,” membatasi kedaulatan Tiongkok dan semakin memperlemah Dinasti Qing.
**Pemberontakan Boxer dan Kebijakan Pintu Terbuka: Reaksi terhadap Imperialisme**
Ketidakpuasan publik terhadap Dinasti Qing yang lemah dan pengaruh asing yang semakin kuat memicu Pemberontakan Boxer (1899-1900). Kelompok rahasia Yihetuan (“Tinju Benar dan Harmonis”) melancarkan pemberontakan kekerasan terhadap orang asing. Pemberontakan tersebut berhasil dipadamkan dengan bantuan pasukan internasional, dan Protokol Boxer menuntut ganti rugi dari Tiongkok.
Setelah pemberontakan, Kebijakan Pintu Terbuka (1899-1900) diusulkan, bertujuan untuk mencegah dominasi eksklusif satu negara di Tiongkok. Namun, Inggris, yang telah membangun kekuatan ekonomi dan politik yang signifikan, tetap menguasai sebagian besar pelabuhan utama Tiongkok.
**Akhir dari Era Imperialisme Inggris di Tiongkok**
Meskipun Dinasti Qing mempertahankan kendali formal atas pemerintahan, imperialisme Inggris telah melemahkan negara tersebut secara signifikan. Revolusi Xinhai tahun 1911 menggulingkan Dinasti Qing, menandai berakhirnya era imperialisme Inggris di Tiongkok. Perang Dunia I dan II mengubah lanskap politik global dan memicu proses dekolonisasi. Pada tahun 1949, Republik Rakyat Tiongkok bertekad untuk membalikkan dampak penjajahan Barat. Akhirnya, pada 1 Juli 1997, Inggris mengembalikan Hong Kong kepada Tiongkok, menandai berakhirnya lebih dari 150 tahun imperialisme Inggris di wilayah tersebut. Kisah imperialisme Inggris di Tiongkok menjadi pelajaran penting tentang dampak kolonialisme dan perjuangan panjang Tiongkok untuk kemerdekaan dan kedaulatan.