UEFA Angkat Suara di Final Super Cup: “Stop Killing Children, Stop Killing Civilians” Jadi Sorotan Dunia

UEFA Angkat Suara di Final Super Cup: “Stop Killing Children, Stop Killing Civilians” Jadi Sorotan Dunia

Udine, Italia – Laga final UEFA Super Cup 2025 di Stadio Friuli, Udine, pada Rabu malam (13/8) berubah menjadi panggung pesan kemanusiaan yang menggema hingga ke penjuru dunia. Di tengah sorak-sorai puluhan ribu penonton yang menanti duel Paris Saint-Germain melawan Tottenham Hotspur, mata publik tiba-tiba tertuju pada sebuah spanduk raksasa bertuliskan: Stop Killing Children. Stop Killing Civilians.

Pesan sederhana namun tegas ini sontak menjadi perbincangan internasional. Tidak hanya karena ditampilkan di ajang olahraga sebesar Super Cup, tetapi juga lantaran konteks konflik berkepanjangan di Gaza yang terus menelan korban, termasuk anak-anak dan warga sipil.

Aksi di Tengah Sorotan Sepak Bola Eropa

Aksi pembentangan spanduk tersebut dilakukan tak lama sebelum kick-off pertandingan. Pada saat yang sama, kamera televisi internasional menyorotnya dari berbagai sudut, memastikan setiap penonton di stadion maupun di rumah dapat melihatnya dengan jelas. Selain itu, UEFA, selaku penyelenggara, menegaskan bahwa langkah ini merupakan bagian dari inisiatif kemanusiaan untuk menyerukan penghentian kekerasan terhadap anak-anak dan warga sipil di zona konflik.

Presiden UEFA, Aleksander Čeferin, bahkan terlihat berdiri di dekat spanduk saat prosesi upacara berlangsung. Sementara itu, kehadiran dua anak pengungsi asal Palestina yang ikut menyerahkan medali kepada para pemain di akhir pertandingan menambah bobot emosional momen tersebut. Menurut UEFA, keduanya merupakan peserta dari program yayasan yang fokus membantu anak-anak terdampak perang.

Latar Belakang: Kritik Terhadap UEFA

Langkah ini tidak muncul begitu saja. Sebelumnya, UEFA menuai kritik keras dari berbagai pihak terkait sikapnya terhadap kematian Suleiman al-Obeid, mantan kapten tim nasional sepak bola Palestina yang tewas dalam serangan udara Israel di Gaza pada awal Agustus. Bahkan, banyak yang menilai UEFA terlalu lamban dan tidak cukup tegas dalam memberikan penghormatan kepada al-Obeid.

Sejumlah tokoh sepak bola dunia, termasuk Mohamed Salah, mengungkapkan kekecewaannya melalui media sosial. Salah menilai bahwa UEFA bersikap pilih kasih dalam menyuarakan solidaritas terhadap korban konflik, terutama jika dibandingkan dengan respons cepat mereka terhadap tragedi di negara lain.

Pernyataan Resmi UEFA

Dalam keterangan resminya, UEFA menegaskan bahwa spanduk yang dipasang di final Super Cup bukanlah pernyataan politik, melainkan murni pesan kemanusiaan. Meskipun demikian, mereka mengaku memahami bahwa pesan tersebut dapat memicu beragam interpretasi. “Kami tidak memihak dalam konflik ini. Pesan tersebut adalah seruan universal untuk menghentikan penderitaan anak-anak dan warga sipil di mana pun mereka berada,” ujar juru bicara UEFA.

Mereka juga menambahkan bahwa inisiatif ini sebenarnya telah direncanakan beberapa minggu sebelumnya, bersamaan dengan program dukungan untuk anak-anak dari wilayah yang dilanda perang. Dengan demikian, UEFA membantah anggapan bahwa langkah ini diambil hanya untuk meredam kritik atas kasus Suleiman al-Obeid.

Respons dari Publik dan Pihak Terkait

Walaupun UEFA berusaha menegaskan bahwa pesan itu bersifat netral, respons publik justru terbelah.

  • Di satu sisi, kelompok Pro-Palestina memandang spanduk itu sebagai langkah positif, meski sebagian menilai pesannya terlalu umum dan tidak secara eksplisit menyebut pihak yang bertanggung jawab.
  • Di sisi lain, pihak Israel melalui beberapa pejabat federasi sepak bola mengecam langkah UEFA. Mereka menuding organisasi tersebut mengabaikan tragedi 7 Oktober yang disebut sebagai pemicu terbaru eskalasi konflik.
  • Selain itu, pengamat netral melihat aksi ini sebagai cerminan semakin kuatnya peran sepak bola sebagai panggung politik dan kemanusiaan global, meskipun UEFA secara resmi menyatakan diri non-politis.

Simbolisme di Balik Spanduk UEFA Stop Killing Children

Bagi banyak orang, pembentangan spanduk ini bukan hanya sekadar gesture. Sepak bola, dengan jutaan penonton di seluruh dunia, menjadi medium efektif untuk menyampaikan pesan kemanusiaan. Oleh karena itu, pesan “Stop Killing Children. Stop Killing Civilians” dirasa memiliki kekuatan moral karena menyerukan nilai universal yang sulit dibantah.

Kehadiran dua anak pengungsi Palestina di lapangan pun menambah dimensi emosional. Bahkan, dalam rekaman televisi, salah satu dari mereka tampak memegang erat medali yang akan diberikan kepada pemain, sementara yang lain melambaikan tangan ke arah penonton.

Reaksi Media Internasional

Media internasional dengan cepat menyoroti momen ini.

  • Al Jazeera menyebutnya sebagai “pesan kemanusiaan langka dari UEFA” yang jarang terlihat di ajang olahraga besar UEFA Stop Killing Children.
  • The Times menekankan bahwa UEFA berusaha keras menegaskan pesan itu bukan bentuk dukungan politik.
  • Ynet News, media asal Israel, justru memandang aksi tersebut sebagai “provokasi” yang tidak mempertimbangkan sensitivitas pihak Israel.
  • Sementara itu, El País dari Spanyol melihatnya sebagai langkah berani yang mungkin akan memicu perdebatan panjang di dunia olahraga.

Kritik: Pesan Terlalu Umum?

Meskipun banyak yang memuji inisiatif ini, kritik tetap bermunculan dari berbagai pihak. Sebagian aktivis kemanusiaan menilai pesan tersebut terlalu “aman” dan tidak cukup menekan pihak-pihak yang terlibat langsung dalam kekerasan. Menurut mereka, jika tujuannya benar-benar untuk menghentikan pembunuhan anak-anak dan warga sipil, maka pihak yang bertanggung jawab harus disebutkan secara jelas.

Namun, pengamat olahraga internasional mengingatkan bahwa UEFA Stop Killing Children berada di posisi sulit. Menyebut pihak tertentu dalam konflik dapat memicu konsekuensi politik dan hukum, termasuk potensi larangan atau pembekuan kompetisi di beberapa negara.

Konflik Gaza: Data dan Dampak Terbaru

Konflik di Gaza yang kembali memanas sejak Oktober 2023 telah menewaskan puluhan ribu orang. Selain itu, menurut data lembaga kemanusiaan, lebih dari sepertiga korban adalah anak-anak. Infrastruktur sipil seperti sekolah, rumah sakit, dan fasilitas umum lainnya hancur akibat serangan udara dan pertempuran darat.

Laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyebut bahwa situasi kemanusiaan di Gaza kini berada pada titik kritis, dengan akses terhadap air bersih, makanan, dan obat-obatan semakin terbatas. Akibatnya, ribuan keluarga terpaksa mengungsi ke wilayah yang dianggap lebih aman, meskipun risiko serangan tetap tinggi.

Sepak Bola dan Isu Kemanusiaan

Fenomena ini menambah panjang daftar peristiwa di mana olahraga, khususnya sepak bola, digunakan sebagai panggung untuk menyuarakan isu-isu kemanusiaan. Sebelumnya, sejumlah klub dan pemain secara individu pernah melakukan aksi serupa, seperti mengenakan pita hitam, menundukkan kepala untuk mengheningkan cipta, atau memajang spanduk solidaritas.

Meski demikian, langkah UEFA kali ini tergolong jarang karena diambil secara resmi di ajang besar. Biasanya, badan sepak bola Eropa tersebut berhati-hati menghindari pesan yang bisa diinterpretasikan secara politik.

Potensi Dampak Jangka Panjang

Analis menilai aksi ini bisa menjadi titik awal bagi UEFA dan organisasi olahraga lain untuk lebih berani bersuara dalam isu kemanusiaan global. Namun demikian, risiko gesekan politik juga akan selalu membayangi.

Jika langkah ini dinilai berhasil menggalang dukungan publik tanpa menimbulkan konsekuensi politik berat, bukan tidak mungkin ke depannya kita akan melihat lebih banyak aksi serupa di kompetisi olahraga internasional. Sebaliknya, jika reaksi negatif dari pihak tertentu terlalu kuat, UEFA mungkin akan kembali bersikap lebih hati-hati.

Momen di Stadio Friuli pada malam final UEFA Super Cup 2025 menjadi bukti bahwa olahraga tidak pernah benar-benar steril dari realitas dunia. Dengan kata lain, pesan “Stop Killing Children. Stop Killing Civilians” yang terpampang di tengah lapangan mengingatkan kita bahwa di balik sorak-sorai dan gemerlap panggung sepak bola, ada tragedi kemanusiaan yang terus berlangsung.

UEFA mungkin ingin menjaga jarak dari politik, namun pada akhirnya, aksi ini telah menempatkan mereka di tengah pusaran debat global. Apakah langkah ini akan menjadi contoh bagi organisasi olahraga lainnya atau justru menjadi pelajaran pahit bagi UEFA, hanya waktu yang akan menjawab.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *